Saturday, January 8, 2011

Upaya Peningkatan Popularitas Ponorogo melalui Proses Metamorfosis Penari Jathil Pada Kesenian Reog Ponorogo

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Jathil merupakan salah satu komponen penting dari sebuah komunitas pendukung kesenian reyog Ponorogo. Di kemudian hari, komponen lain pendukung kesenian ini (warok dan warokan), populer dengan sebutan “konco reyog”, artinya sebuah komunitas pendukung kesenian reyog.

Dalam aktifitas seni reyog Ponorogo, jathil berperanan penting terhadap kelangsungan seni reyog itu sendiri. Peran utamanya sebagai penari jathil (kuda kepang), menyebabkan kesenian ini menjadi hidup, terutama dari segi keindahannya. Gerakan-gerakan indah serta tarian-tariannya yang lembut, menyuguhkan sajian yang cukup menarik. Dari aspek inilah seni reyog ini tidak jarang memberikan kesan terhadap pentasnya sebagai inti pertunjukkannya.

Secara historis, sekalipun masih bersifat samar-samar (belum ada penelitian yang mengungkap masalah jathil), dari sumber lisan diperoleh keterangan, bahwa jathil berasal dari sebuah komunitas yang disebut gemblakan (bahasa Jawa) atau mairil (istilah yang biasa dipakai oleh kaum santri). Gemblakan adalah seorang laki-laki berusia muda sekitar 10 sampai dengan 17 tahun dan berparas tampan. Ditinjau dari sosial ekonomi, gemblakan ini berasal dari keluarga miskin yang dipinang atau dilamar dengan cara tertentu (menyerupai pinangan seorang calon isteri). Dalam transaksi pinangan itu, gemblakan tersebut akan dijadikan “anak” atau “pangon” (semacam buruh yang dipekerjakan dengan upah tertentu sesuai dengan kesepakatan pada saat pinangan), sekalipun dalam praktiknya gemblakan ini tidak dipekerjakan sebagaimana layaknya buruh. Pekerjaan yang dilakukan oleh gemblakan adalah memberikan pelayanan (layaknya seorang isteri) kepada warok pemiliknya.

Dalam tradisi warok, sebuah komunitas atau paguyuban warok (terdiri dari; seorang warok, puluhan warokan, dan beberapa gemblakan, hampir selalu mempunyai paling tidak satu unit kesenian reyog. Setiap gemblakan dalam tradisi warok selalu berperan sebagai jathil (penari kuda kepang atau jaranan) dalam tradisi reyog. Hal ini sekaligus menunjukkan betapa eratnya tradisi gemblakan dengan kesenian rakyat ini. Seorang gemblakan yang berhasil tampil memukau sebagai jathil akan menjadikan komunitas warok pemiliknya merasa bangga dan memperoleh popularitas di kalangan perkumpulan warok yang lain.

Jathil dalam perkembangan reyog berikutnya ternyata tidak saja dimaknai sebagai komponen seni reyog dalam segi keindahannya saja, tetapi juga dari aspek nilai yang ingin disosialisasikan lewat pertunjukan seni ini. Muatan nilai seni reyog ini meliputi; nilai edukatif, filosofis, dan religius. Peran edukatif, misalnya, dari peran jathil ini adalah sebuah nasihat agar masyarakat Ponorogo memiliki watak ksatria (jujur, berani, dan bertanggungjawab). Pesan ini muncul melalui gerakan-gerakan tarinya yang lincah (trengginas), penuh energi mendobrak-layaknya sikap hidup seorang janaka (tokoh ksatria dalam pewayangan)

Sampai akhir dasawarsa 80-an jathil dengan pelaku utama seorang laki-laki (gemblakan) berikut aspek-aspek terkait, sebagimana dipaparkan di atas, tetap eksis. Namun mulai awal dasawarsa 90-an jathil dari jenis kelamin laki-laki ini, mulai diubah dan ditinggalkan, dan kemudian diganti dengan pelaku jathil perempuan. Motif perubahan pun nampaknya juga belum jelas alias samara-samar. Dugaan paling kuat adalah karena tuntutan pasar dan barangkali kecil atau bahkan tidak ada sama sekali motif yang didorong oleh kepentingan seni itu sendiri. Yang jelas, mulai awal 90-an, seni reyog Ponorogo ini mulai mengalami kejenuhan, yang ditandai dengan semakin melemahnya apresiasi masyarakat Ponorogo terhadap kesenian ini. Berbagai upaya telah dilakukan oleh konco reyog, yang salah satunya adalah merubah pelaku jathil laki-laki menjadi perempuan.

Perubahan (metamorfosis) pelaku jathil menjadi perempuan, memang sempat membangunkan apresiasi masyarakat terhadap seni ini. Namun, juga tidak sedikit mereka yang menentang perubahan itu, dengan alasan utama tidak sesuai dengan “pakem” reyog. Tidak jelas juga motif lebih jauh di balik pertentangan itu, karena seperti di telan bumi, pandangan menentang itu tidak bergaung dan kemudian lenyap di tengah-tengah hiruk-pikuk kreasi tari jathil perempuan ini. Perubahan itupun, akhirnya mendapat “pengabsahan” melalui sebuah event Festival Reyog Nasional, yang hingga penelitian ini dilakukan telah berusia 16 tahun.

Hal yang menarik dalam hal ini, bahwa jathil perempuan telah terang-terangan menjadi trend pengembangan seni reyog Ponorogo, dan telah disambut dengan “tanpa beban” oleh seluruh konco reyog. Yang lebih menarik lagi adalah untuk memberikan daya tarik terhadap popularitas seni reyog itu sendiri sebagai salah satu potensi sumberdaya kabudayaan daerah Ponorogo.

Dengan demikian, penelitian ini bisa dianggap penting, karena secara khusus mengkaji jathil dalam bentuk metamorfosisnya di dalam kesenian reyog Ponorogo. Karenanya, lebih jauh penelitian ini akan mengungkap berbagai hal berkaitan dengan jathil perempuan yang pada gilirannya bisa dipakai dasar penelitian masalah yang akan kami kembangkan.

Masalah yang diangkat adalah bagaimana dampak perubahan penari jatil dari laki-laki menjadi perempuan terhadap popularitas ponorogo,baik di kancah domestik maupun internasional. Penelitian ini dikemas dalam karya tulis yang berjudul “Upaya Peningkatan Popularitas Ponorogo melalui Proses Metamorfosis Penari Jathil Pada Kesenian Reog Ponorogo”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan paparan permasalahan di atas, masalah penelitian yang akan dikaji dalam kegiatan ini dirumuskan sebagai berikut;

1. Bagaimana sejarah yang melatar belakangi metamorfosis penari jathil pada kesenian Reyog Ponorogo (dari laki – laki menjadi perempuan)?

2. Bagaimana respon dari masyarakat terhadap metamorfosis penari jathil pada kesenian Reyog Ponorogo ?

3. Bagaimana pengaruh metamorfosis jathil terhadap popularitas kesenian Reyog Ponorogo ?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui sejarah yang melatar belakiangi metamorfosis penari jathil yang semula laki – laki menjadi perempuan.

2. Mengetahui respon masyarakat tentang metamorfosis penari jathil yang terjadi didalam kesenian Reyog Ponorogo.

3. Menggali potensi daerah untuk dipublikasikan ke kalangan luar sebagai pemasukan daerah (mempopulerkan wisata budaya Ponorogo untuk menarik wisatawan ).

4. Mengetahui respon masyarakat tentang metamorfosis penari jathil pada kesenian Reyog Ponorogo

5. Melatih peneliti untuk menuangkan pemikiran dalam bentuk Karya Tulis Ilmiah

6. Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberi manfaat antara lain :

1. Bagi tim peneliti.

a) Memberikan wawasan dan pengalaman dalam menyusun karya tulis..

b) Memberikan kesempatan bagi peneliti menerapkan metode ilmiah yang sebelumnya telah dipelajari..

c) Mempunyai pengalaman dalam mengikuti lomba karya ilmiah remaja (LKIR).

2. Bagi masyarakat :

a) Memberikan informasi mengenai sejarah kesenian reog sebagai kesenian khas Ponorogo khususnya sejarah jathil.

b) Memperluas wawasan masyarakat mengenai kesenian reog.

3. Bagi Pemerintah

a) Memberikan referensi guna meningkatkan pemasukan daerah melalui Dinas-Dinas terkait

1.5. Batasan Masalah

Penelitian ini terbatas pada kajian pustaka tentang penelitian terdahulu tentang jatil, kerangka berfikir, dan kajian teori. Kajian teori ini meliputi perempuan dalam perspektif budaya, ideologi patriarki dan status perempuan. Peneliti juga mencantumkan kajian pustaka tentang Tari Reog, jathil, dan profil Ponorogo.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang jathil terutama dikaitkan dengan perubahan pemeran dari laki-laki menjadi perempuan, nampaknya belum pernah dilakukan. Karena itu, pengungkapan temuan penelitian terdahulu tentang masalah ini tidak bisa dihadirkan di dalam tinjauan pustaka ini. Penelitian-penelitian yang mirip atau mendekati dengan alur penelitian barangkali yang akan banyak mewarnai di dalam bagian ini.

Penelitian Vina Alvina tentang idiologi patriarki yang dilakukannya di kalangan keluarga double income di Kodya Malang (1998), menunjukkan bahwa nilai-nilai kultur Jawa yang sangat kuat melekat, bahwa perempuan adalah konco wingking. Pada kondisi tertentu ketika perempuan sudah bekerja di sektor publik, ternyata ideologi konco wingking itu tetap hidup dengan mengambil bentuk lain berupa urmat (menghormati, memuliakan) kepada suami dalam koridor marginalisasi kaum perempuan.

Di dalam penelitian Rido “Tradisi Warok dan Marginalisasi Perempuan di Kabupaten Ponorogo” (2006), menemukan tradisi jathil dalam kaitan terjadinya pencitraan buruk (negatif) jathil tersebut disebabkan rapatnya hubungan jathil dengan tradisi gemblakan dalam tradisi warok dimana didalamnya diduga terjadi penyimpangan seksual (homoseksual) antara gemblak (yang berlaku jathil laki-laki) dengan warok pemiliknya. Di dalam penelitian ini belum diteliti secara detail tentang penari jathil dalam kesenian reyog Ponorogo hingga dirubah penari jathil tersebut menjadi perempuan, melainkan hanya disinggung tentang penari jathil perempuan ini dari kemungkinan penyebab perubahannya, yakni munculnya citra buruk dalam tradisi warok/gemblak.

2.2. Kajian Teori

2.2.1. Perempuan dalam Perspektif Budaya

Pemahaman kebudayaan menyangkut persoalan-persoalan perempuan, status dan perannya dalam kehidupan sosial, sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan keadaan dan waktu. Juga tergantung pada bagaimana pemahaman-pemahaman tersebut berhubungan dengan posisi kaum perempuan di berbagai komunitas. Perbedaan pemahaman ini selanjutnya dikenal dengan konsep gender, yaitu beberapa sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural (. Misalnya, stereotipe perempuan yang dikenal dengan lemah lembut, keibuan, emosional atau lebih sabar. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan atau perkasa, dan sebagainya. Stereotipe-stereotipe ini dapat dipertukarkan dan bisa jadi berbeda pada masing-masing masyarakat, tergantung pada budaya dan sistem nilai yang dibangun.

Ketertindasan perempuan, secara antropologis, dipandang oleh Sherry Ortner disebabkan oleh sistem nilai yang diberi makna tertentu secara kultural. Dia menempatkan keterpinggiran perempuan pada tataran ideologi dan simbol kebudayaan. Sementara menurut Ortner ketertindasan perempuan dalam budaya universal merupakan manivestasi dari pemahaman antara budaya dan alam yang kemudian dibandingkan dengan posisi laki-laki dan perempuan pada peran sosialnya. Secara umum, kebudayaan memberi pembedaan antara masyarakat manusia dan alam. Kebudayaan berupaya mengendalikan dan menguasai alam, yang selanjutnya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Karenanya, kebudayaan berada pada posisi superior dan alam di pihak inferior. Kebudayaan diciptakan untuk menguasai, mengelola, dan mengendalikan alam untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan masyarakat. Terkait dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan, maka perempuan selalu diasosiasikan dengan alam, sedangkan laki-laki diasosiasikan dengan kebudayaan. Akibatnya, perempuan berada pada posisi yang dikontrol, dikendalikan, dan dikuasai. Hal selanjutnya memunculkan atribut-atribut yang berbias gender dalam pembentukan konsep gender itu sendiri, sebagaimana ditulis Beauvoir dikutip Shirley Lie (2005:16) bahwa konsep gender adalah sejumlah atribut perilaku yang dibentuk secara kultural dan dikenakan pada diri perempuan dan laki-laki.

Pembatasan perempuan dalam perspektif budaya, disebabkan beberapa hal. Ortner (dikutip dalam Moore, 1998: 31-32) menyebut beberapa argumentasi; pertama, secara biologis dengan fungsi reproduksinya yang khas membuat perempuan nampak lebih dekat dengan alam. Daya kreatifitas perempuan secara alami terpenuhi melalui proses melahirkan. Sementara laki-laki lebih dihubungkan dengan kebudayaan dan dengan daya cipta, kreatifitas yang diberikan kebudayaan. Oleh karenanya laki-laki dipaksa dan bebas untuk menciptakan secara artifisial melalui sarana kebudayaan, dan digunakan untuk mempertahankan kebudayaan itu sendiri. Kedua, disebabkan oleh kegiatan reproduksinya, seperti hamil, melahirkan, menyusui, yang cenderung membatasi perempuan untuk berperan pada fungsi-fungsi sosial tertentu. Akibatnya, perempuan identik dengan aktifitas-aktifitas di wilayah domestik, seperti mengasuh dan mendidik anak dan bahkan lebih jauh aktifitas-aktifitas seperti ini dianggap sebagai tugas utama (pokok) perempuan. Karenanya, kondisi di atas secara praktis memposisikan laki-laki untuk mengambil peran di wilayah publik, dan seolah menjadi wilayah ekslusif laki-laki. Di duga, kondisi inilah yang menyebabkan lahirnya distingsi tugas-tugas domestik dan publik antara laki-laki dan perempuan. Ketidakadilan kemudian muncul ke permukaan, yakni ketika pekerjaan-pekerjaan domestik dinilai lebih rendah dibanding tugas-tugas di bidang publik.

Analisis yang dilakukan Karl Marx tentang kekuasaan dan kelas, sebagaimana dikutip dalam Heilbroner (1991:34) dan Ritzer (1996:67-69) merupakan pendekatan lain yang bisa digunakan untuk menjelaskan dan memahami proses penindasan terhadap perempuan. Marx melihat bahwa politik ekonomi kapitalisme sebagai biang keladi kehancuran dan ketertindasan sebagian besar masyarakat. Kapitalisme menciptakan kelas, dalam arti kelas yang memiliki modal dan kelas yang tidak memiliki modal, kelas kaya dan kelas miskin, kelas majikan dan kelas buruh. Dalam perspektif ini, perempuan memang tidak dapat dikategorikan sebagai satu kelas saja. Artinya, bisa saja perempuan datang dari golongan buruh (proletar) saja atau golongan majikan (borjuis) saja. Munculnya kelas disini sebenarnya dipicu oleh penilaian atau penghargaan terhadap hasil pekerjaan kelas tertentu, dalam hal ini kelas kaum perempuan. Suatu misal, perempuan yang bekerja dibidang domestik dapat dikatakan sebagai suatu kelas. Mereka susungguhnya bekerja, mempunyai pekerjaan yang kurang lebih sama tanggungjawabnya dengan pekerjaan di bidang lain. Pada saat hasil kerja mereka dinilai rendah atau tidak dihargai sama sekali, maka disinilah muncul kelas, yakni perempuan sebagai kelas yang dikuasai karena dianggap tidak menghasilkan nilai-nilai ekonomi.

2.2.2. Ideologi Patriarki dan Status Perempuan

Dalam sejarah perkembangan masyarakat perubahan sistem matrilineal dengan pola kekuasaan matriarkat kepada sistem patrilineal yang patriarkat, tidak terjadi begitu saja, melainkan di dalamnya sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya kepentingan komunitas laki-laki untuk mengontrol dan menguasai asset ekonomi yang dihasilkannya. Kepentingan-kepentingan ini selanjutnya dilembagakan dalam bentuk sistem-sistem sosial atau budaya yang memberi kekuasaan pada laki-laki. Inilah yang pada gilirannya dikenal dengan ideologi patriarkis.

Pada masyarakat modern, ideologi patriarki termanivestasi dan semakin dikukuhkan oleh sistem kapitalisme. Sistem ekonomi modern menurut Marx (dikutip dalam Ritzer, 1996:71) merupakan pertentangan antara kaum proletariat yang dieksploitasi dan kaum borjuis yang disebut kelas kapitalis. Kapitalisme dilihat sebagai sistem pertukaran, digambarkan sebagai komunitas pasar dimana semua, termasuk kekuatan tenaga kerja, mempunyai harga. Semua transaksi secara mendasar adalah transaksi pertukaran. Pertukaran transaksi ini sesungguhnya merupakan eksploitasi bagi kaum proletar (buruh). Misalnya, hubungan buruh-majikan dapat dilihat sebagai hubungan pertukaran, antara tenaga dengan keuangan. Majikan mempunyai kekuasaan memaksa buruh untuk bekerja keras dengan upah serendah mungkin. Pada posisi ini perempuan adalah buruh yang paling mudah untuk dieksploitasi dengan alasan-alasan biologis, reproduksi dan lain-lain. Disamping itu juga ada anggapan bahwa perempuan bekerja bukan merupakan pemenuhan tugas pokok, karena tugas pokoknya di rumah. Karenanya hasil kerja perempuan dihargai dengan sangat murah; sekaligus sebagai pasar potensial yang menjadi konsumen terbesar penggerak roda kapitalisme.

Antonio Gramschi (dikutip dalam Patria, 1999:119) menjelaskan, bahwa supremasi suatu kelas sosial diperoleh dengan dua cara, yaitu melalui dominasi atau paksaan (coercion), dan kedua melalui kepemimpinan intelektual dan moral. Berangkat dari dasar pemikiran ini, keterpinggiran perempuan dapat dijelaskan. Pertama, ketika pembagian kerja semakin menajam antara wilayah publik dan domestik, laki-laki semakin mendominasi dan menguasai aset-aset ekonomi dan perempuan semakin terkurung dalam kehidupan rumah tangga. Akhirnya perempuan semakin tergantung secara ekonomis kepada laki-laki. Laki-laki menjadi pemimpin keluarga, yang dibaliknya tersembunyi sebuah kepentingan untuk mengontrol dan menguasai aset ekonomi yang mereka perjuangkan. Pola kepemimpinan keluarga selanjutnya termanivestasi dalam kehidupan sosial, dimana laki-laki selalu dominan dalam berbagai aspek kehidupan; politik, budaya, dan hukum. Pada saat ini ideologi patriarki dominan dan menindas, sehingga lahir produk politik, sistem nilai, dan sistem hukum yang berpihak kepada kepentingan laki-laki. Sistem ini nyata-nyata memaksa perempuan menjadi pelayan laki-laki. Kondisi ini yang pernah dikritik oleh Beauvoir (dikutip Shirley Lie, 2005:9) bahwa budaya patriarkat manusia yang dianggap sebagai pengada bebas hanya laki-laki, sedangkan perempuan dikategorikan sebagai pengada yang tidak bebas alias bergantung kapada laki-laki.

Kedua, dominasi laki-laki dalam dunia publik, pada gilirannya melahirkan produk-produk budaya, hukum, dan politik yang dilembagakan melalui lembaga-lembaga sosial, yang akhirnya membentuk kesadaran semu perempuan untuk mematuhinya.

2.3. Kerangka Berfikir

Dua pendekatan pemahaman yang digunakan untuk melihat posisi ketertindasan perempuan diatas, agaknya memiliki hubungan yang signifikan. Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan membawa pemahaman tentang perbedaan peran, tugas, dan fungsi sosial laki-laki dan perempuan. Seiring dengan perkembangan masyarakat, distingsi kerja antara wilayah domestik dan publik semakin menajam yang membawa pada terbentuknya spesialisasi kerja. Akibatnya, laki-laki semakin eksis dalam dunia sosial, budaya, bisnis, industri, dan juga dalam kehidupan keluarga.

Berbasis kajian pustaka di atas, diasumsikan bahwa spesialisasi kerja juga terjadi dalam kasus penari jathil perempuan pada kesenian reyog Ponorogo, sekalipun bisa gender itu bersifat semu. Dikatakan demikian, dikarenakan beberapa faktor lain yang ikut mempengaruhi perubahan penari jathil dari laki-laki menjadi perempuan. Baik itu menyangkut aspek jumlah penari, nilai estetika dalam tarian maupun kebudayaan penari jathil perempuan yang telah mengakar pada kebudayaan masyarakkat. Subordinasi perempuan dibawah laki-laki inilah yang kemudian melahirkan sistem patriarkhi. Patriarkhi tidak hanya bermakna tentang garis keturunan anak berdasarkan sang ayah. Lebih dari itu, makna patriarkhi sesungguhnya adalah sebuah sistem sosial yang meletakkan laki-laki sebagai pemimpin keluarga, penguasa, dan superior. Jadi makna patriarkhi adalah kepemimpinan laki-laki atas keluarga, kekuasaan, dan superioritas (Fatmugil Berktay,2002). Hal ini menyebabkan sulitnya mengubah kebudayaan ini.

Akan tetapi dengan perubahan penari jathil dari laki-laki ke perempuan justru menimbulkan efek positif tersendiri terhadap kesenian Reog Ponorogo. Salah satu kritik mendasar terhadap konsep patriarkhi adalah sebuah pandangan bahwa kategori perempuan itu adalah sama. Dalam arti bahwa semua perempuan memiliki sesuatu yang bersifat fundamental yang karenanya membedakannya dengan kaum laki-laki. Asumsi ini terekam dalam perdebatan tentang konsep kodrat wanita. Hampir di seluruh struktur masyarakat dalam berbagai tingkatan, stigma tentang perempuan yang memiliki label tertentu yang bersifat kodrati yang dengannya ia dibedakan dengan kodrat laki-laki selalu diproduksi dan direproduksi untuk melanggengkan struktur subordinasi terhadap perempuan. Perempuan tidak hanya digambarkan sebagai kelompok sosial yang tertindas, tetapi juga direpresentasikan sebagai kaum yang lemah.

Namun bersamaan dengan bias ketidakadilan gender itu, perubahan penari jathil menjadi perempuan, bisa jadi, menjadi celah alternatif untuk mengekspresikan kebebasan diri mengatasi dominasi laki-laki yang selama ini dianggap tabu disebabkan cengkeraman budaya patriarkat yang sangat kuat. Pentas jathil perempuan dalam gelar Pekan Raya Jakarta sangat dimungkinkan menjadi momen penting bagi kaum perempuan Ponorogo untuk menilai keberhasilan perjuangan perempuan dalam menerobos dominasi laki-laki yang selama ini menjadi pilar utama penari jathil seni reyog Ponorogo. Sebagian perempuan modern, seperti ditunjukkan Beauvoir (dikutip dalam Shirley Lie, 2005:45) bahwa berkat kemajuan teknologi informasi, keberhasilan perjuangan sebagian kecil perempuan yang berhasil menerobos dominasi laki-laki dalam sejarah untuk mendapatkan kebebasannya kembali telah membakar semangat perempuan lain di seluruh dunia untuk turut bergerak maju.

Hal ini nantinya akan dibuktikan melalui metode penyebaran angket kepada responden untuk mengetahui respon masyarakat dengan adanya perubahan penari jathil dari laki-laki menjadi perempuan. dalam angket tersebut, peneliti mencoba mencari data tentang pengetahuan masyarakat tentang sejarah kesenian Reog khususnya sejarah jathil dan pendapat masyarakat terhadap metamorfosis jathil.

Dari data yang telah terkumpul, peneliti mecoba mengambil kesimpulan tentang sejarah perubahan penari jathil dari laki-laki menjadi perempuan dan respon masyarakat terhadap hal ini yang nantinya akan berpengaruh terhadap popularitas kesenian Reog Ponorogo. Popularitas yang dimaksud dapat dalam kancah domestic maupun internasional.

2.4 Profil Ponorogo

Kota Ponorogo sebagai ibukota Kabupaten Ponorogo yang terletak di bagian Barat Daya Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur mempunyai keuntungan lokasi yang strategis, yaitu terletak di sebagai pusat kegiatan regional Madiun - Pacitan – Trenggalek Wonogiri (Jawa Tengah) dan Magetan.

Dengan demikian kota Ponorogo mempunyai peranan yang sangat penting baik sebagai pusat koleksi maupun sebagai pusat distribusi bagi wilayah hinterlandnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa kecenderungan perkembangan Kota onorogo berlangsung dengan ekspansive (horisontal) dengan pola campuran antara pola pertumbuhan rural (tumbuhnya kampung-kampung yang yang bersifat (enclave) dan pola pertumbuhan urban yang dicirikan dengan perkembangan permukiman antara pola linier dan menyebar (dispersed).

2.4.1. Orientasi Wilayah

Secara geografis Kota Ponorogo terletak pada 111°17’-111°52’ Bujur Timur dan 7°49’-8°20’ Lintang Selatan dengan wilayah seluas 5.119,905 Ha. Kota Ponorogo termasuk ke dalam iklim tropis dan mempunyai curah hujan tertinggi pada bulan Januari-April yaitu sebesar 227-370 mm/det, dan tingkat curah hujan terkecil terjadi pad bulan Oktober-Desember yaitu 51-70 mm/det. Suhu rata-rata di kota Ponorogo berkisar antara 28-34° C. Berdasarkan Perda Kabupaten Ponorogo No. 2 Th.1988 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota di Kabupaten Ponorogo, Kota Ponorogo terdiri dari 36 Desa/Kelurahan

Secara administratif, Kota Ponorogo dibatasi oleh :

• Batas wilayah utara : Kecamatan Ponorogo dan Kecamatan

Babadan serta batas administratif Desa

Polorejo dan Desa Babadan

• Batas wilyah timur : Desa Setono dan Pialangan serta Mrican,

Kelurahan Patihan Kidul dan Ronosentana, Desa Manuk dan Tranjang, Desa Brahu dan Kepuhrubuh.

• Batas wilayah selatan : Desa Brahu dan Kepuhrubuh dan jalan desa di Desa Beton Kecamatan Siman.

• Batas wilayah barat : Sungai Sekayu dan batas administratif Kecamatan Ponorogo dan Sukorejo

Kota Ponorogo berada pada ketinggian antara 100-199 meter diatas permukaan air laut dengan kondisi lahan yang hampir 90% landai atau datar. Dengan kemiringan rata-rata dibawah 10% maka dapat dikatakan bahwa Kota Ponorogo tidak mempunyai kendala untuk berkembang secara ekspansive terutama bila ditinjau dari segi topografi.

Di Kota Ponorogo terdapat beberapa sungai utama yang mengalir dan memperngaruhi sistem tata air dan secara tidak langsung mempengaruhi pola perkembangan kota tersebut yaitu Sungai Cokromenggalan, Sungai Mangkungan, Sungai Bibis, Sungai Gendol, Sungai Keyang, Sungai Genting, Sungai Sungkur dan Sungai Sekayu.

Luas Kota Ponorogo 5.119.905 ha secara umum masih didominasi oeh areal persawahan (lebih dari 50% dari luas total Kota Ponorogo). Peruntukan dominan kedua setelah sawah adalah untuk perumahan dan pekarangan, serta ladang dan tegal.

2.4.2. KEPENDUDUKAN

2.4.2.1. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk

Berdasarkan data dari RUTRK Ponorogo 1997/1998-2009/2008 jumlah penduduk kota Ponorogo tahun 1996 sebesar 123.013 jiwa, rata-rata prosentase pertumbuhan penduduk di kota ini eber 0,66% pertahun.

Dengan luas wilayah kota 5.119,905 Ha dan luas ternagun seluas 1.739,707 ha, maka rata-rata kepadatan penduduk kotor di Kota Ponorogo 24 jiwa/Ha dan kepadatan penduduk bersih adalah 71 jiwa/Ha.

2.4.3 EKONOMI

2.4.3.1 Kondisi Perekonomian Daerah

Kota Ponorogo telah mempunyai fasilitas perdagangan yang lengkap, fasilitas tersebut berupa pasar dan pertokoan yang terkonsentrasi di pusat kota. Khususnya Pasar Kota Ponorogo seperti Pasar Legi di Desa Banyudono, Pasar Pon di Desa Mangunsuman dan pasar yang ada di Desa Tonotan .

Selain menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari, keberadaan pasar tersebut juga penting dalam rangka menunjang kegiatan sistem koleksi – distribusi terhadap barang-barang kebutuhan penduduk dan beberapa komoditi pertanian yang dihasilkan oleh Kota Ponorogo dan wilayah sekitarnya. Sedangkan fasilitas perdagangan yang berupa pertokoan terutama banyak terkonsentrasi di Desa Mangkujayan, Tamanarum, Tambakjayan, dan Bangunsari.

Hanya saja untuk memenuhi kebutuhan akan barang-barang kebutuhan yang sifatnya tersier seperti peralatan elektronik , otomotif dan sebagainya, penduduk selain pergi ke Kota Ponorogo sendiri juga pergi ke kota besar lainnya seperti Madiun bahkan Surabaya.

2.4.3.2 Keuangan Daerah

Berdasarkan data yang ada, diperoleh urutan kecamatan dengan PDRB tertinggi yaitu:

1. Kecamatan Ponorogo : Rp 78.946.251.970,-

2. Kecamatan Babadan : Rp 61.244.743.980,-

3. Kecamatan Jenangan : Rp 50.167.829.760,-

4. Kecamatan Siman : Rp 37.556.560.940,-

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa perlu adanya penyebaran kegiatan yang nantinya bisa mengangkat wilayah lain yang ada di sekitar Kota Ponorogo.

PDRB di Kota Ponorogo sangat tinggi karena ditunjang adanya kegiatan industry pengolahan besar/sedang yang banyak terpusat di kecamatan Ponorogo serta sektor-sektor yang lain seperti perdagangan, hotel dan restoran serta jasa perbankan.

2.5. Kesenian Reog

Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok warok dan gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.

Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok [1], namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.

Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya [2]. Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.

Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan 'kerasukan' saat mementaskan tariannya [3] .

Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/0/0b/Reog_Ponorogo_Indonesia.jpg/180px-Reog_Ponorogo_Indonesia.jpg2.5.1. Pementasan Seni Reog

http://id.wikipedia.org/skins-1.5/common/images/magnify-clip.png

Gambar 2.5 Reog Ponorogo

Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu.

Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,

Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.

Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.

2.5.2. Kontroversi

Tarian Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan[4]. Deskripsi akan tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak, yang merupakan asli buatan pengrajin Ponorogo [5]. Permasalahan lainnya yang timbul adalah ketika ditarikan, pada reog ini ditempelkan tulisan "Malaysia" [6] dan diaku menjadi warisan Melayu dari Batu Pahat Johor dan Selangor Malaysia - dan hal ini sedang diteliti lebih lanjut oleh pemerintah Indonesia.[7]. Hal ini memicu protes dari berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang berkata bahwa hak cipta kesenian Reog dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004 dan diketahui langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia [7]. Ribuan Seniman Reog pun menggelar demo di depan Kedutaan Malaysia [8]. Berlawanan dengan foto yang dicantumkan di situs kebudayaan, dimana dadak merak dari versi Reog Ponorogo ditarikan dengan tulisan "Malaysia" [9], Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain pada akhir November 2009 kemudian menyatakan bahwa "Pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya asli negara itu. Reog yang disebut “barongan” di Malaysia dapat dijumpai di Johor dan Selangor karena dibawa oleh rakyat Jawa yang merantau ke negeri tersebut.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah metode penelitian/penelitian non hipotesis yang bertujuan menggambarkan keadaan menggunakan data berupa kualitatif dan kuantitatif (Arikunto: 1998; 245). Metode ini dipilih karena menyangkut data yang hendak dikumpulkan dalam penelitian ini adalah tentang pengaruh kasus perubahan pelaku jathil pada kesenian reyog Ponorogo terhadap popularitas Ponorogo. Dari ungkapan konsep ini, jelas bahwa yang dikehendaki adalah informasi dalam bentuk deskripsi. Ungkapan konsep ini sekaligus lebih menghendaki makna yang berada dibalik deskripsi data tersebut. Karena itu, penelitian ini lebih sesuai jika menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, mengacu kepada pemikiran Max Weber yang mengatakan bahwa, pokok penelitian bukanlah kepada gejala-gejala sosial, tetapi lebih menekankan kepada memahami makna-makna yang terkandung dibalik tindakan individu yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut (Istibsyaroh, 2004:14) melalui proses induksi-interpretasi-konseptualisasi. Proses analisis dalam penelitian ini telah dimulai sejak peneliti menetapkan fokus permasalahan, dan lokasi penelitian, kemudian menjadi intensif ketika turun ke lapangan. Data dalam catatan lapangan akan dianalisis dengan cara melakukan penghalusan bahan empirik yang masih kasar ke dalam laporan lapangan. Selanjutnya peneliti akan melakukan penyederhanaan data menjadi beberapa unit informasi yang rinci tetapi sudah terfokus dalam ungkapan asli responden (indigenous concept) sebagai penampakan perspektif emiknya. Dengan demikian, laporan lapangan yang detil (induksi) menjadi data yang mudah dipahami, dicarikan makna, sehingga ditemukan pikiran apa yang tersembunyi dibalik cerita responden (interpretasi) dan akhirnya dapat diciptakan suatu konsep (konseptualisasi).

Proses analisis akan berjalan melalui kategorisasi atau konseptualisasi data yang terus digali, sambil membandingkan dan mencari hubungan antar konsep sampai melahirkan hipotesis-hipotesis. Proses ini akan bergerak tidak secara linier lagi, tetapi berputar secara interaktif antara satu konsep dengan konsep yang lain, atau antara kategori satu dengan yang lain. Proses ini juga akan bergerak sejak awal pengumpulan data, bekerja secara simultan, semakin kompleks atau rumit, tetapi sekaligus semakin mengarah pada proses munculnya hipotesis dan sampai titik tidak terdapat lagi informasi baru (Hamidi, 2004:80-81). Sedangkan pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengungkapkan respon masyarakat. Dari data yang diperoleh melalui angket yang telah disebar kepada responden, peneliti mencoba mencari data mengenai respon masyarakat terhadap perubahan penari reog dari laki-laki menjadi perempuan, baik mengenai tingkat pengetahuan masyarakat, maupun pro dan kontra terhadap hal ini.

Kebanyakan data yang diperoleh untuk mengetahui pengaruh tersebut adalah dari literatur (pengumpulan data secara studi pustaka). Dalam penelitian ini, metode deskriptif mempermudah peneliti untuk mengetahui pengaruh metamorphosis penari jathil terhadap popularitas ponorogo.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Ponorogo, dengan mengambil sebagian perkumpulan reyog yang masih ada, mengingat perubahan pelaku jathil perempuan ini telah menyebar di seluruh konco reyog.

Satu hal yang menarik dalam kasus perubahan penari jathil adalah bahwa jathil perempuan telah terang-terangan menjadi trend pengembangan seni reyog Ponorogo, dan telah disambut dengan “tanpa beban” oleh seluruh konco reyog. Yang lebih menarik lagi adalah kemungkinan munculnya resiko psikologis, sosial, maupun fisik yang dialami oleh pelaku jathil perempuan.

3.3. Data dan Sumber Data

Data yang hendak digali lewat penelitian ini, sebagaimana disebutkan di atas adalah tentang berbagai hal (sikap, ucap, tindak) yang dilakukan oleh pihak lain terhadap palaku jathil perempuan dalam pentas seni reyog Ponorogo, dimana semuanya mengarah pada pencitraan negative perempuan, terutama para pelaku jathil perempuan. Dan lebih jauh perlakuan tersebut mengarah pada diskriminasi terhadap kaum perempuan.

Sumber data primer, dengan demikian, akan digali melalui penari jathil perempuan itu sendiri. Sedangkan sebagai sumber data sekunder (pendukung) akan digali melalui para tokoh reyog Ponorogo, dan tokoh masyarakat dari kalangan pemerintah maupun non pemerintah.

3.4. Informan Penelitian

Informan penelitian ini adalah pelaku jathil perempuan, dan para tokoh seniman . Penentuan informan dari kalangan pelaku jathil perempuan akan dilakukan melalui teknik snowball (bola salju), dimana penggalian data akan dilakukan kepada para pelaku jathil perempuan tanpa mematok jumlahnya, tetapi mencukupkan diri dengan kualitas informasi yang diberikan, artinya jika informasi dirasa sudah jenuh (tidak ada informasi baru lagi) dari informan yang diinterview, maka penggalian data akan dihentikan. Sementara itu, jika informasi yang digali dari para pelaku jathil perempuan tersebut masih terus berkembang dan memenuhi kebaruan sesuai dengan fokus penelitian, maka penggalian data akan terus bergulir dan terus mencari informan baru sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh informan lain yang telah diwawancara.

Demikian halnya dengan informan pendukung; tokoh reyog, tokoh masyarakat. Tokoh seniman adalah mereka yang tergabung di dalam Yayasan Reyog Ponorogo.

Melalui penyebaran angket, peneliti mencoba mencari data tentang respon masyarakat yang nantinya akan diolah guna mencari sebuah kesimpulan tentang respon masyarakat terhadap perubahan penari Jathil pada kesenian Reog Ponorogo

3.5. Media Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa instrumen penelitian, yaitu sebagai berikut :

1. Studi Pustaka : adalah instrumen yang digunakan untuk memperoleh data literatur. Literatur dapat diperoleh dari majalah ilmiah, buku-buku, dan internet. Data yang digunakan dalam karya tulis ini kebanyakan diperoleh dengan instrumen studi pustaka.

2. Observasi : adalah instrumen yang dilakukan melalui pencatatan secara sistematis dengan melihat atau mengamati suatu objek. Objek observasi dalam karya tulis ini adalah penari jathil dari group reog yang tampil pada pembuka’an acara grebek suro dan Festival Reog Nasional di Ponorogo. Observasi ini bertujuan untuk mengetahui jumlah tim reog yang memakai penari wanita sebagai jathil. Selain itu peneliti juga mengadakan observasi di sanggar-sanggar tari.

3. Foto : adalah instrumen yang digunakan untuk menelaah segi-segi subjektif dan hasilnya dianalisis secara induktif yaitu menganalisis data khusus untuk mendapatkan gambaran yang bersifat umum. Pada penelitian ini, foto diperoleh dari foto yang dihasilkan orang lain maupun peneliti sendiri.

4. Wawancara : adalah instrumen yang digunakan untuk menggali data tentang berbagai pandangan berikut fenomena yang melatari pandangan itu dari berbagai aspek, sesuai dengan ruang dan waktu subyek. dengan instrumen ini peneliti mengkaji sejarah yang melatar-belakangi perubahan penari jathil pada kesenian Reog Ponorogo dari penari laki-laki menjadi perempuan.

5. Uji Angket : Instrumen ini digunakan untuk mengetahui keadaan suatu obyek dengan cara memberikan pertanyaan tertulis pada selembar kertas. Biasanya pertanyaan angket disusun dalam bentuk multiple choice dengan tambahan beberapa jawaban subyektif. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan instrumen ini untuk mengetahui respon masyarakat terhadap perubahan penari jathil dari laki-laki menjadi perenpuan pada kesenian Reog Ponorogo.

3.6. Kegiatan Penelitian

Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan November-Desember 2009. Berikut disajikan kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan.

Tabel 3.1 Kegiatan Penelitian

No

Kegiatan

Waktu

Tempat

1

Merumuskan judul dan rumusan masalah.

27 November 2009

SMA Negeri 1 Ponorogo

2

Mencari literatur dari buku, majalah ilmiah, dan internet.

28 November s.d. 13 Desember 2009

Menyesuaikan

3

Wawancara dengan pelaku jathil

9 -13 Desember 2009

Menyesuaikan

4

Menyebar angket

12-13 Desember 2009

SMA Negeri 1 Ponorogo

5

Observasi

13 Desember 2009

Alun-alun Ponorogo

6

Pengolahan data dan penyusunan karya tulis.

13 s.d.16 Desember 2009

Menyesuaikan

3.7 Responden Penelitian

Untuk melakukan Uji Angket peneliti mengambil responden dari 150 siswa di SMA Negeri 1 Ponorogo, masing-masing 50 siswa dari kelas X, XI, dan XII.


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan data lapangan, kajian teori, serta analisis dan pokok-pokok temuan sesuai dengan permasalahan penelitian tentang peningkatan popularitas Ponorogo dalam kasus perubahan pelaku jathil dari laki-laki menjadi perempuan pada seni Reyog Ponorogo, maka bisa disampaikan kesimpulan sebagai berikut:

  1. Perubahan penari jathil pada seni Reyog Ponorogo dilatarbelakangi oleh permintaan pentas dari pemerintah pusat Jakarta dalam acara Pekan Raya Jakarta yang terjadi pada tahun 1988. Pentas jathil perempuan dalam PRJ tersebut telah melahirkan sejarah baru bagi seni Reyog Ponorogo, meliputi: (1) Perubahan penari jathil perempuan diikuti oleh hampir seluruh group Reyog di Ponorogo; (2) Melahirkan versi pertunjukan reyog baru yang dinamakan versi Reyog Obyog, dimana tarian jathil lebih difokuskan untuk keperluan hiburan, sehingga tidak terikat oleh aturan-aturan tari Reyog Ponorogo yang telah termaktub di dalam pakem Reyog Ponorogo. Reyog obyog bisa dibilang seni pertunjukan rakyat dan biasanya dipakai untuk acara-acara rakyat seperti; khitanan, pernikahan, dan hajat-hajat lain yang diselenggarakan oleh rakyat (desa). Kehadiran Reyog obyog berarti telah memperkaya versi pertunjukan Reyog Ponorogo yang sebelumnya telah ada, yakni; Reyog Pusaka, Reyog Garapan (festival), dan Reyog Santri; (3) Penari jathil perempuan telah menjadi trend pengembangan seni Reyog Ponorogo, sehingga nampaknya sangat sulit untuk mengembalikan pada asalnya (penari jathil laki-laki). Di tengah-tengah trend jathil perempuan ini, Bapak Shodiq pristiwanto selaku tokoh kesenian Reog Ponorogo ikut mendukung hal ini .
  2. Konsep jathil perempuan secara baku belum diatur oleh Yayasan Reyog Ponorogo. Selama ini pengembangan seni Reyog Ponorogo dengan penari jathil perempuan lebih pada persepsi dan kreasi masing-masing group Reyog. Secara umum karakteristik pengembangan tari jathil perempuan bisa dibedakan sebagai berikut: pertama, di kalangan reyog obyog kreasi tarinya mengambil bentuk tari lepas sesuai dengan persepsi dan kreasi masing-masing penari jathil secara individual, sehingga sebuah pentas tari jathil akan terjadi perbedaan yang cukup mencolok, apalagi di dalam reyog obyog ini juga mengambil komposisi improvisasi dari tari gambyong dan joget dangdut; kedua, pada bagian pendahuluan pentas, Pemkab Ponorogo telah mengambil kebijakan (sekalipun tidak tertulis) agar seluruh group reyog mengawali pentas dengan menjadikan tari jathil missal tahun 1995; ketiga, untuk seni reyog garapan (festival) tari jathil lebih terpola secara rapi, disini telah ditentukan misalnya warna dan alat-alat tata busananya, juga telah diatur gerak dan tarinya, sekalipun antar group reyog memiliki kreasi tari sendiri-sendiri.
  3. Responden yang menyatakan mengetahui sejarah jathil sebesar 76.7 % sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan masyarakat tentang jathil tinggi. Responden yang menyatakan setuju dengan adanya perubahan penari jathil dari laki-laki menjadi perempuan sebesar 81,3% sehingga dapat dikatakan bahwa perempuan lebih sesuai menarikan tarian jathil. Responden yang menyatakan penari jathil lebih sesuai diperankan oleh perempuan sebesar 85.3 % sehingga dapat dikatakan bahwa penari jathil lebih sesuai diperankan oleh perempuan. Responden yang menyatakan dengan berubahnya penari jathil pada kesenian Reog menjadi perempuan dapat memberikan daya tarik atau nilai jual lebih terhadap Kesenian Reog Ponorogo sebesar 90 % sehingga dapat dikatakan bahwa dengan berubahnya penari jathil pada kesenian Reog menjadi perempuan dapat memberikan daya tarik atau nilai jual lebih terhadap Kesenian Reog Ponorogo.

4. Seni Reyog Ponorogo dengan penari jathil perempuan telah mengantarkan seni Reyog Ponorogo semakin diapresiasi masyarakat luas, juga telah meningkatkan popularitas kesenian Reog Ponorogo dengan semakin membudayanya kesenian Reog dengan perempuan sebagai penari jathilnya. Hal ini terus membudaya baik di kancah domestic maupun internasional.

6.2. Saran

Mengingat seni Reyog Ponorogo menjadi pilar penting bagi pembangunan Daerah Ponorogo, maka melalui penelitian ini disarankan beberapa hal berikut:

  1. Kepada Pemerintah Daerah Ponorogo khususnya Yayasan Reyog Ponorogo agar terus mengawal trend seni Reyog Ponorogo, dengan melakukan penelitian-penelitian tentang seni Reyog Ponorogo dari berbagai aspek untuk dijadikan arah dan dasar pengembangan seni Reyog Ponorogo dalam ruang dan waktu yang terus berubah ini.
  2. Kepada para pimpinan group Reyog Ponorogo, terutama group Reyog yang memiliki seni pertunjukan reyog obyog agar meyakinkan kepada masyarakat tentang citra penari jathil agar tetap dinilai positif oleh masyarakat dengan menampilkan seni pertunjukan reyog obyog yang sesuai etika dan moral masyarakat.
  3. Kepada para penari jathil perempuan agar berupaya terus untuk mengembangkan diri melalui pemahaman yang baik terhadap seni Reyog Ponorogo pada umumnya, dan khususnya tentang nilai-nilai luhur yang hendak dipesankan melalui seni tari jathil, sehingga dengan pemahaman yang baik secara otomatis akan berpengaruh kepada cara mempersepsi dan berkreasi tari jathil yang bernilai luhur tersebut.

1 comment:

  1. The gambling world is changing at the casino - DRMCD
    “There are more 서울특별 출장샵 casinos in North America, so many 서울특별 출장샵 people have no intention of going 서귀포 출장마사지 gambling 통영 출장마사지 on it. They have no intention of 포천 출장샵 going

    ReplyDelete

komentar yang baik sangat diterima